Jika generasi penerus tidak memiliki alternatif, mereka akan berada pada posisi yang sulit: kehilangan sumber penghasilan namun juga kehilangan hutan aset terbesar yang seharusnya bisa menjadi modal mereka hidup di masa depan.
Karena kekhawatiran itulah aku mulai memikirkan pendidikan lingkungan sebagai bagian dari misi mengajar di sini. Melalui Taman Baca Baraoi yang aku dirikan sejak tahun 2014, anak-anak tidak hanya belajar membaca, menulis, dan berhitung. Mereka juga belajar mengenal alam, menanam pohon, menjaga tanaman buah lokal, dan menghindari kebiasaan merusak lingkungan. Kami mengadakan kegiatan bersih-bersih kampung dan lingkungan, kampanye kecil tentang pengelolaan sampah, hingga praktik langsung menanam pohon setiap kali kami melaksanakan kemah literasi.
Aku paham sepenuhnya: menumbuhkan kesadaran lingkungan tidak semudah membalik telapak tangan. Perlu waktu panjang, perlu teladan, dan perlu konsistensi. Namun satu hal yang membuatku terus yakin adalah perubahan kecil yang nyata terlihat dari tahun ke tahun. Banyak anak yang kini tumbuh besar dengan cita-cita yang lebih variatif bukan lagi menjadi penambang atau bekerja mengambil kayu di hutan. Mereka mulai memandang pendidikan sebagai jalan yang lebih menjanjikan dan bermartabat bagi masa depan mereka.
Maka wacana kurikulum lingkungan di sekolah bukan sekadar program baru bagiku. Ini adalah penguatan bagi perjuangan yang selama ini telah dilakukan banyak guru, terutama di daerah yang langsung bersentuhan dengan kerusakan lingkungan. Jika diterapkan dengan serius, aku yakin akan semakin banyak generasi muda yang mencintai hutan bukan karena itu sumber kayu atau emas, tetapi karena di sanalah masa depan mereka sesungguhnya berada.
