Dari Pedalaman untuk Masa Depan Hijau: Dukungan Seorang Guru untuk Pendidikan Lingkungan

Halo para pembaca yang budiman,
Beberapa waktu lalu, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan arahan agar sekolah menambahkan jam pelajaran terkait kepedulian terhadap lingkungan dan pelestarian hutan. Walaupun mungkin terasa sedikit terlambat, bagiku arahan ini justru menjadi kabar yang menggugah semangat. Terlebih lagi, di tempat aku mengabdi sebagai tenaga pendidik di pedalaman Kalimantan Tengah sejak tahun 2014, isu ini sudah menjadi keresahan dan perjuanganku selama lebih dari satu dekade.
Pendidikan Lingkungan
Saat pertama kali menjejakkan kaki di sini, aku menemui dua persoalan utama yang begitu mencolok: kemampuan membaca anak-anak yang masih sangat lemah dan kesadaran lingkungan yang belum menjadi perhatian bersama. Sebagian besar keluarga menggantungkan hidup pada pertambangan emas secara konvensional yang oleh pemerintah disebut sebagai PETI. Kita tahu bersama bahwa aktivitas itu bukan hanya merusak alam, tetapi juga tidak berkelanjutan. Cepat atau lambat sumbernya akan habis, atau ketika penegakan hukum semakin kuat, aktivitas itu tidak lagi bisa dijadikan sandaran ekonomi.

Jika generasi penerus tidak memiliki alternatif, mereka akan berada pada posisi yang sulit: kehilangan sumber penghasilan namun juga kehilangan hutan aset terbesar yang seharusnya bisa menjadi modal mereka hidup di masa depan.

Karena kekhawatiran itulah aku mulai memikirkan pendidikan lingkungan sebagai bagian dari misi mengajar di sini. Melalui Taman Baca Baraoi yang aku dirikan sejak tahun 2014, anak-anak tidak hanya belajar membaca, menulis, dan berhitung. Mereka juga belajar mengenal alam, menanam pohon, menjaga tanaman buah lokal, dan menghindari kebiasaan merusak lingkungan. Kami mengadakan kegiatan bersih-bersih kampung dan lingkungan, kampanye kecil tentang pengelolaan sampah, hingga praktik langsung menanam pohon setiap kali kami melaksanakan kemah literasi.

Aku paham sepenuhnya: menumbuhkan kesadaran lingkungan tidak semudah membalik telapak tangan. Perlu waktu panjang, perlu teladan, dan perlu konsistensi. Namun satu hal yang membuatku terus yakin adalah perubahan kecil yang nyata terlihat dari tahun ke tahun. Banyak anak yang kini tumbuh besar dengan cita-cita yang lebih variatif bukan lagi menjadi penambang atau bekerja mengambil kayu di hutan. Mereka mulai memandang pendidikan sebagai jalan yang lebih menjanjikan dan bermartabat bagi masa depan mereka.

Maka wacana kurikulum lingkungan di sekolah bukan sekadar program baru bagiku. Ini adalah penguatan bagi perjuangan yang selama ini telah dilakukan banyak guru, terutama di daerah yang langsung bersentuhan dengan kerusakan lingkungan. Jika diterapkan dengan serius, aku yakin akan semakin banyak generasi muda yang mencintai hutan bukan karena itu sumber kayu atau emas, tetapi karena di sanalah masa depan mereka sesungguhnya berada.

Aku percaya, dari pedalaman seperti Petak Malai ini, perubahan besar itu bisa dimulai.
Perlahan tapi pasti, selama kita terus menanam, suatu saat hutan kesadaran itu akan tumbuh.

Salam hangat dan hijau,
Seorang Guru dari Pedalaman Kalimantan