Cerita dari Katingan: Gratisan Buah dan Durian Kerai yang Unik

www.mjumani.net - Sejak pertama kali bertugas di pedalaman Katingan, Kalimantan Tengah, tahun 2014 lalu, ada satu hal yang bikin aku selalu betah: musim buah!


Durian tanpa duri

Kalau di kampung halamanku dulu, mau makan buah harus beli di pasar atau tukang buah. Nah, di sini beda cerita. Banyak buah lokal bisa dinikmati gratis, asal kita mau sedikit berusaha memetik atau sekadar mendatangi pohonnya. Ada langsat, manggis, dan tentu saja sang raja buah—durian.

Rasa durian gundul

Durian Katingan ini cukup terkenal di Kalimantan. Bahkan ada pedagang nakal yang suka “menyisipkan” label Durian Katingan pada dagangannya, padahal belum tentu duriannya benar-benar berasal dari sini. Tujuannya? Supaya lebih laris dan bisa dijual dengan harga lebih tinggi. Agak merugikan sih, karena orang yang belum kenal durian asli Katingan bisa salah kaprah.

Awalnya, aku termasuk tim anti-durian. Di musim-musim awal, aku sama sekali nggak tertarik untuk mencobanya. Tapi lama-kelamaan, apalagi ketika musim raya durian tiba dan buahnya melimpah ruah, aku akhirnya memberanikan diri mencicipi. Dari satu gigitan, terus berlanjut… sampai sekarang malah jadi penggemar berat.

Apalagi, di sini durian sering bisa didapatkan gratis. Bayangkan, bisa makan sepuasnya tanpa keluar uang! Kalau sudah kebanyakan dan nggak sanggup dihabiskan, biasanya dibuat tempuyak—fermentasi durian yang jadi lauk khas di banyak daerah.

Yang seru dari musim durian di Katingan adalah tradisi menunggu buah jatuh. Karena durian matang dibiarkan jatuh sendiri dari pohonnya, orang-orang biasanya mendirikan pondok darurat di sekitar kebun untuk berjaga, terutama malam hari. Aku pun ikut merasakan pengalaman itu—begadang sambil ngobrol, sesekali mendengar suara “gedebuk” tanda durian jatuh. Rasanya campur aduk, antara waspada jangan sampai kejatuhan durian, tapi juga antusias menanti rezeki yang jatuh dari langit (secara harfiah).

Setelah bertahun-tahun ikut musim durian, sekarang aku bahkan sudah cukup percaya diri menilai tekstur dan rasa durian dari berbagai pohon. Meskipun sama-sama durian Katingan, tiap pohon punya cita rasa khasnya sendiri.

Salah satu pengalaman paling menarik adalah saat pertama kali dikenalkan dengan durian unik sekitar tahun 2018 lalu. Warga sini menyebutnya Durian Kerai—durian tanpa duri, atau hanya punya sedikit saja. Kalau benar-benar mulus, kulitnya bisa hampir semulus semangka. Warnanya agak coklat dengan bercak-bercak yang katanya mirip penyakit kulit hewan bernama kerai, makanya dinamakan begitu.

Daging buahnya mirip dengan durian biasa, tapi banyak yang bilang rasanya lebih enak. Durian ini langsung mengingatkanku pada “Durian Gundul” yang sempat viral di Lombok sekitar tahun 2007. Bedanya, pohon durian Kerai di sini sudah besar—usianya kemungkinan lebih dari 20 tahun. Artinya, jauh sebelum “Durian Gundul” di Lombok populer, pohon ini sudah ada.

Melihat kenyataan itu, aku jadi penasaran dengan asal-usul durian Kerai. Apakah memang sama seperti durian gundul di Lombok yang merupakan hasil mutasi alami? Sampai sekarang, aku baru menemukan satu pohon saja di daerah ini. Bisa jadi memang unik dan langka.

Bagaimanapun juga, pengalaman menikmati musim buah di pedalaman Katingan ini jadi salah satu hal yang selalu aku syukuri. Dari yang awalnya nggak suka durian, sampai sekarang malah bisa disebut “pecinta durian garis keras”.

Kalau teman-teman suatu hari main ke Katingan pas musim durian, jangan lupa sempatkan ikut berjaga di pondok durian. Siapa tahu bisa merasakan sensasi mendengar bunyi “gedebuk” durian jatuh di tengah malam—pengalaman sederhana, tapi tak tergantikan.

Terima kasih sudah membaca ceritaku kali ini. Kalau ada yang pernah dengar atau bahkan mencoba durian Kerai atau durian Gundul yang dari Lombok, coba deh share pendapatnya. Kira-kira, lebih enak dari durian biasa nggak?