www.mjumani.net - Setelah kurang lebih empat tahun “menjomblo”, alhamdulillah akhirnya kami sekeluarga bisa berkumpul kembali di tempat tugasku di pedalaman Kalimantan. Empat tahun tentu bukan waktu yang singkat, ada banyak cerita, perjuangan, dan dilema yang mewarnai perjalanan hidup terpisah.
Hidup di dua tempat jelas bukan hal yang mudah. Dalam istilah sederhana orang sering menyebutnya “dua dapur”. Itu artinya ada dua rumah tangga yang harus sama-sama dijaga agar asap dapurnya tetap mengepul. Secara ekonomi, tentu pengeluaran jadi lebih besar, apalagi harga kebutuhan pokok di pedalaman jauh lebih mahal dan tidak selalu tersedia.
Di sisi emosional pun tidak kalah berat. Kadang ketika ada makanan enak di meja, hati jadi terasa hambar karena membayangkan keluarga di seberang sana mungkin hanya makan seadanya, atau bahkan tanpa lauk. Jujur saja, dapurku di pedalaman sering kali terasa lebih miris. Meski ada uang, tetap sulit mendapatkan sayur mayur atau lauk yang diinginkan. Semua serba terbatas.
Hal yang paling terasa melelahkan tentu urusan “pulkam”. Jarak yang jauh membuat perjalanan membutuhkan tenaga, waktu, dan biaya yang tidak sedikit. Tapi ada kebutuhan nonmateri yang tidak bisa diabaikan dalam keluarga. Anak tetap butuh sosok ayah. Setidaknya jangan sampai, karena terlalu lama tidak bertemu, si kecil yang sedang tumbuh malah memanggil ayahnya dengan sebutan paman. Itu akan jadi luka yang dalam.
Inilah dilema yang sering dihadapi para abdi negara di pedalaman. Di satu sisi, kami berjuang untuk mencerdaskan anak-anak bangsa di daerah terpencil. Namun di sisi lain, anak kami sendiri harus tumbuh dengan kasih sayang dan bimbingan seorang ayah yang serba terbatas.
Syukurlah, sekarang kami bisa berkumpul kembali. Walaupun harus hidup dengan segala keterbatasan pedalaman, setidaknya ada kehangatan keluarga yang membuat semuanya terasa lebih ringan. Memang, setiap keputusan selalu ada sisi positif dan negatifnya. Sisi positifnya, kami bisa menikmati momen bersama, menjalani hari-hari layaknya sebuah keluarga utuh. Namun di sisi lain, mereka juga harus meninggalkan kenyamanan hidup di kota. Selain itu, kesempatan untuk pulang ke kampung halaman dan bertemu sanak keluarga pun semakin jarang.
Tapi begitulah hidup, selalu ada pilihan yang harus diambil dengan segala konsekuensinya. Dan di balik semua keterbatasan ini, aku percaya ada kebahagiaan yang jauh lebih bernilai: kebahagiaan karena bisa bersama, bisa saling menemani, dan bisa tetap tertawa meski hidup sederhana.
Pada akhirnya, rumah bukanlah soal bangunan megah atau fasilitas lengkap. Rumah adalah tempat di mana kita bisa berkumpul dengan orang-orang tercinta, meskipun sederhana, meskipun di tengah pedalaman. Karena sejauh apapun kaki melangkah, sejatinya keluarga adalah tujuan paling akhir untuk pulang.