www.mjumani.net - Minggu malam, 7 September 2025, sebenarnya aku sudah menyiapkan diri untuk begadang. Alasannya sederhana: aku ingin menyaksikan gerhana bulan total yang kabarnya akan menampakkan fenomena blood moon di langit dini hari Senin, 8 September 2025.
Sayangnya, cuaca tidak bersahabat. Sejak habis Magrib hujan turun deras dan terus berlanjut hingga hampir tengah malam. Aku sempat ketiduran, dan baru terbangun sekitar pukul 12.00 malam. Begitu terbangun, aku mendapati hujan sudah berhenti. Menurut informasi, puncak gerhana akan terjadi sekitar pukul 03.00 pagi, jadi aku memutuskan untuk menunggu. Sesekali aku keluar rumah, menengok ke langit, namun yang terlihat hanya kegelapan. Awan tebal masih menutupi cahaya bulan.
Beberapa saat kemudian, aku akhirnya bisa melihat bulan samar-samar di balik awan tipis. Saat itu proses gerhana sudah separuh, tapi sayangnya pandangan tetap tidak maksimal. Aku kembali ke rumah, menunggu sambil bermain game di ponsel.
Menjelang pukul 03.00, aku keluar lagi dengan penuh harapan. Namun hasilnya sama: langit kembali gelap gulita, tanpa bintang, tanpa bulan. Rasanya sia-sia menunggu dari tadi. Aku hampir saja kembali masuk rumah dengan rasa kecewa, tapi langkahku malah berbelok ke arah kolam samping rumah.
Sejak tadi, aku memang mendengar suara katak yang cukup ramai. Mungkin karena tanah masih basah habis diguyur hujan, suasananya terasa lebih hidup. Akhirnya, alih-alih mengamati gerhana, aku malah sibuk melakukan “herping mini” di halaman sendiri. Aku berhasil memotret seekor katak berwarna cokelat-oranye yang sedang bertengger di batang tanaman.
Yang membuatku lebih tertarik adalah cara katak itu berbunyi. Ternyata suara khasnya tidak keluar dari mulut, melainkan dari kantung suara yang ada di bawah dagu. Kantung itu akan menggelembung dan mengempis dengan cepat, menghasilkan suara yang nyaring. Jujur, sebelumnya aku hanya tahu katak berbunyi keras di malam hari, tapi detail mekanismenya baru kali ini aku perhatikan.
Siangnya, aku juga sempat menemukan sesuatu yang unik: semacam busa putih yang menempel di daun tepat di atas kolam. Ternyata itu adalah sarang telur katak jenis tertentu. Jadi berbeda dengan kebanyakan katak yang bertelur langsung di air, katak ini justru membuat sarang busa di daun atau ranting yang menggantung di atas air. Nantinya, setelah menetas, kecebong akan jatuh ke dalam kolam dan melanjutkan fase hidupnya di air.
Dari bentuk katak dan sarang busa yang aku temukan, kemungkinan besar ini adalah katak jenis Rhacophorus atau lebih dikenal sebagai katak pohon. Salah satu ciri khasnya memang cara bertelur unik dengan membuat sarang busa yang menggantung. Strategi ini membantu melindungi telur dari predator air dan menjaga kelembapannya sampai waktunya menetas.
Jadi meskipun malam ini aku gagal menyaksikan blood moon yang katanya indah, aku tetap merasa puas. Rasa penasaranku tentang gerhana bulan memang belum terjawab langsung, tapi sebagai gantinya aku mendapat pengalaman baru: menyaksikan sendiri bagaimana seekor katak bersuara dan menemukan bukti cara mereka bertelur yang unik. Rasanya tetap jadi malam yang berkesan.