Pijantung Bukan Kolibri, dan Kisahnya di Depan Jendela

www.mjumani.net - Sejak tinggal dan bertugas di pedalaman Kalimantan Tengah, hampir setiap hari selalu saja ada pengalaman unik yang membuat hidup di sini terasa berwarna. Mulai dari bertemu ular di jalan setapak, memetik buah-buahan lokal langsung dari pohonnya, menunggu durian jatuh dengan sabar, sampai memancing di sungai atau berkemah bersama rekan guru. Semua hal itu menjadi cerita tersendiri.

Beda kolibri dan Pijantung

Namun, ada satu pengalaman yang juga berkesan bagi saya, yaitu tentang burung-burung yang sering menabrak kaca jendela rumah. Entah kenapa, jendela kaca rumah guru di kompleks tempat saya tinggal—yang modelnya tipe kopel dengan total enam jendela kaca di bagian depan—jadi “sasaran” berbagai jenis burung.

Jenis burungnya cukup bervariasi. Ada punai tanah, raja udang, hingga beberapa jenis lain yang saya sendiri tidak terlalu kenal. Tapi yang paling sering menabrak kaca adalah burung pijantung.

Pijantung, si penghisap madu

Burung pijantung sering disalahartikan sebagai kolibri. Keduanya memang mirip, sama-sama memakan nektar dan memiliki paruh panjang, tapi sebenarnya berbeda. Kolibri asli hanya hidup di benua Amerika, sedangkan di Asia—termasuk Kalimantan—yang ada adalah pijantung dan keluarga burung penghisap madu lainnya. Ciri khas pijantung adalah paruhnya yang ramping melengkung serta lidah panjang untuk menghisap nektar bunga.

Saya kira, burung-burung ini sering menabrak kaca karena pantulan bayangan pepohonan di jendela. Saat siang hari, cahaya yang memantul di kaca membuatnya terlihat seperti hutan kecil, sehingga burung yang sedang terbang rendah salah sangka dan menabraknya dengan kecepatan cukup tinggi.

Suatu sore yang tak terlupakan

Salah satu kejadian yang paling saya ingat terjadi di sebuah sore. Dari ruang tengah, saya mendengar suara “duk” yang khas, seperti ada benda agak berat menabrak kaca. Karena sudah sering mengalami, saya langsung curiga. Benar saja, di teras rumah ada seekor burung kecil tergeletak, dengan kaki menghadap ke atas dan lidah panjangnya terjulur dari paruh.

Saya buru-buru membawanya ke tempat aman. Jujur saja, saya tidak tahu harus berbuat apa selain menetesi paruhnya dengan sedikit air putih. Beberapa menit kemudian, burung itu mulai siuman, tapi masih terlalu lemah untuk terbang. Saya menemaninya hampir setengah jam, menaruhnya sebentar di cabang tanaman rambutan, sampai akhirnya ia cukup bertenaga untuk mengepakkan sayap dan terbang kembali ke pepohonan dekat rumah.

Cara sederhana mencegah burung menabrak kaca

Dari pengalaman ini, saya jadi mencari tahu, ternyata ada beberapa cara sederhana untuk mengurangi risiko burung menabrak kaca:

  • Menempelkan stiker atau pola di kaca. Burung akan lebih mudah mengenali permukaan kaca jika ada tanda-tanda visual.

  • Menggunakan tirai tipis atau kelambu. Selain menahan cahaya, kain tipis bisa mengurangi pantulan pepohonan di luar.

  • Menggeser pot tanaman ke dekat jendela. Bayangan tanaman nyata di depan kaca bisa mengurangi ilusi “hutan palsu” di kaca.

  • Memasang kawat halus atau jaring tipis. Ini lebih ekstrem, tapi efektif jika tabrakan sering terjadi.

Dengan langkah-langkah kecil seperti ini, kita bisa lebih ramah pada satwa liar yang berbagi ruang hidup dengan kita.

Tentang keberuntungan kecil

Bagi sebagian orang, mungkin kejadian burung menabrak kaca hanyalah hal sepele. Tapi bagi saya, pengalaman sederhana itu meninggalkan rasa hangat. Ada kepuasan tersendiri bisa menolong makhluk kecil yang nyaris jadi mangsa kucing atau anjing sekitar. Rasanya seperti diingatkan kembali bahwa kita hidup berdampingan dengan alam, dan kadang hal-hal kecil semacam ini justru yang membuat hari-hari terasa berharga.

Siapa sangka, dari sebuah bunyi “duk” di kaca, saya mendapat kesempatan untuk belajar sabar, peduli, dan merasakan hangatnya interaksi dengan alam. Pengalaman kecil, tapi menyenangkan untuk dikenang.