Pertemuan dengan Sang Nenek
Di antara warga di sekitar tempat tugasku, ada seorang nenek yang sangat aku hormati. Beliau adalah seorang penganut Hindu Kaharingan, kepercayaan asli masyarakat Dayak yang begitu kental dengan nilai-nilai spiritual dan penghormatan terhadap alam.
Meski kami berasal dari latar belakang yang berbeda, hubungan kami terasa begitu dekat. Dari beliau aku banyak belajar tentang kehidupan, kearifan lokal, dan juga... bahasa Dayak.
Awalnya aku hanya mampu memahami sedikit kata dalam bahasa Dayak, tapi nenek ini tidak pernah keberatan. Ia justru sabar menunggu aku menyusun kata demi kata, tersenyum setiap kali aku keliru, dan tetap berusaha memahami maksud ucapanku. Dari percakapan-percakapan sederhana itulah, kemampuan berbahasa Dayakku perlahan mulai berkembang dari yang semula pasif menjadi lebih aktif.
Obrolan tentang Kepercayaan dan Alam Gaib
Yang membuat setiap perbincangan dengannya selalu menarik adalah bagaimana beliau menceritakan banyak hal tentang kepercayaan Kaharingan dan pandangannya terhadap dunia yang tak kasat mata.
Beliau sering berkata bahwa di pedalaman seperti ini, “ada yang hidup bersama kita, walau tak terlihat.” Dalam pandangan beliau, makhluk halus juga memiliki tabiat seperti manusia ada yang baik, ada yang tidak. Menurutnya, kita tidak boleh menyepelekan keberadaan mereka, melainkan perlu menghormati dan menjaga sikap saat berada di alam.
Sebagai seorang Muslim, aku tentu memiliki pemahaman yang berbeda. Namun dari obrolan itu aku justru belajar satu hal penting: bahwa penghormatan terhadap yang gaib dan terhadap alam adalah bentuk kesadaran spiritual yang universal, meskipun cara dan keyakinannya berbeda.
Buku Kecil Bersampul Hijau
Ada satu hal yang membuatku cukup terkejut. Di tengah-tengah kepercayaannya sebagai penganut Kaharingan, beliau ternyata juga memiliki sebuah buku kecil bersampul hijau — Majmu’ Syarif.
Saat pertama kali beliau menunjukkannya, aku sempat heran. Buku kecil ini biasanya dimiliki dan digunakan oleh umat Islam sebagai kumpulan doa dan dzikir. Namun bagi beliau, buku itu punya makna yang berbeda. Ia percaya bahwa menyimpan buku itu dapat menjauhkan makhluk jahat dan membawa ketenangan di rumahnya.
Aku tidak melihatnya dari sisi benar atau salah, tapi dari sisi makna yang lebih dalam keyakinan dan keikhlasan seseorang untuk merasa dekat dengan Yang Maha Kuasa, apapun bentuknya. Dan dari situ aku belajar tentang toleransi yang sesungguhnya, bukan sekadar menerima perbedaan, tapi juga menghargai makna spiritual yang dimiliki orang lain.
Refleksi
Setiap kali aku berbicara dengan beliau, aku selalu merasa sedang belajar bukan tentang agama atau bahasa saja, tetapi tentang cara manusia saling memahami meski berasal dari dunia yang berbeda.
Dari nenek ini aku belajar bahwa kebaikan bisa melampaui batas keyakinan. Bahwa bahasa kasih dan ketulusan jauh lebih kuat daripada sekat-sekat perbedaan. Dan bahwa di tengah heningnya hutan Kalimantan, selalu ada ruang untuk saling menghormati, mendengarkan, dan belajar.
Salam hangat dari pedalaman Kalimantan