Di tahun-tahun pertama aku tinggal di sana, hari-hariku banyak diwarnai oleh tawa dan celoteh anak-anak desa. Hampir setiap sore, aku duduk di beranda taman bacaan masyarakat yang kami dirikan, sambil melihat mereka membaca, bermain, atau sekadar bercanda di halaman depan. Melalui mereka pula aku belajar banyak hal mulai dari bahasa Dayak, hingga cara memahami kehidupan yang berjalan pelan namun penuh makna.
Maklum, di pedalaman seperti Tumbang Baraoi, anak-anak lebih fasih berbahasa Dayak ketimbang Bahasa Indonesia. Tidak jarang aku dibuat bingung ketika mereka berbicara cepat menggunakan bahasa daerah, dan akhirnya harus meminta mereka mengulang atau menjelaskan maksudnya. Dari situ aku belajar bahwa bahasa bukan sekadar alat untuk berbicara, tapi juga jembatan untuk memahami budaya dan hati orang-orang di sekitarku.
Yang paling kuingat dari masa itu adalah suasana sore di lapangan Buluh Merindu sebuah lapangan sederhana di depan kantor kecamatan yang menjadi pusat kehidupan desa. Sejak pukul dua siang, anak-anak sudah mulai berkumpul, bermain di bawah naungan pohon yang rindang. Saat taman baca mulai buka, mereka datang membaca buku dengan penuh semangat, lalu berlari ke lapangan ketika matahari mulai condong ke barat.
Tidak ada satu pun di antara mereka yang membawa ponsel. Dunia mereka terasa begitu nyata dan hidup. Mainan yang mereka buat pun sederhana tapi penuh daya cipta: mobil-mobilan dari botol oli bekas, atau “senapang kucuk” dari bambu dengan peluru kertas basah. Di musim tertentu, hampir semua anak punya senjata bambu buatannya sendiri , ada pula yang mendapat senapan buatan teman.
Kini, suasana itu mulai memudar. Saat sore tiba, anak-anak lebih sering berkumpul di tempat-tempat yang memiliki akses internet Starlink, sibuk bermain game atau mabar. Permainan tradisional seperti bola, layang-layang, gasing, atau kelereng hanya muncul sesekali di musim tertentu.
Waktu memang telah mengubah banyak hal. Bahkan di tengah pedalaman yang dulu terasa begitu jauh dari dunia modern, gadget dan internet perlahan menggeser kebiasaan lama. Namun, perubahan itu datang tanpa sepenuhnya menghapus keterbatasan: jalan desa masih belum sepenuhnya baik, listrik PLN masih hanya angan-angan, dan sinyal sulit untuk digambarkan dengan kata-kata.
Andai tidak ada Starlink, mungkin kehidupan di Tumbang Baraoi masih akan seperti dulu sunyi, sederhana, dan penuh tawa anak-anak yang berlari di lapangan tanpa membawa ponsel di tangan.
Kadang, diam-diam aku merindukan masa itu. Masa ketika sore selalu diwarnai tawa riang, debu lapangan, dan semangat anak-anak yang sederhana tapi tulus.